Reformasi Pajak Mendesak, Dedi Mulyadi Kritik Sentralistik: Jabar Hanya Kebagian Rp140 T vs Jakarta Rp1.000 T

KDM
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi atau Kang Dedi Mulyadi (KDM). Foto: Humas Pemprov Jabar.

CIREBONINSIDER.COM — Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, melontarkan kritik keras terhadap sistem perhitungan dan distribusi pajak nasional yang dinilainya terlalu sentralistik.

Dedi mendesak Pemerintah Pusat segera melakukan reformasi kebijakan fiskal. Ia menegaskan bahwa sentralisasi pajak saat ini menciptakan ketidakadilan fiskal akut yang merugikan daerah-daerah industri.

​Kritik ini disampaikan Dedi usai menghadiri Sarasehan Kebangsaan MPR RI di Bandung, Rabu, menyerukan perlunya sistem yang adil dan berbasis lokasi dampak riil.

Baca Juga:KPK Kawal Aset Negara dan Konservasi Lingkungan di Jabar, Kunci Mitigasi Bencana Banjir dan LongsorMenkeu Purbaya Tolak Keras Legalisasi Thrifting Ilegal meski Pedagang Janji Bayar Pajak

Kesenjangan Fiskal: Jakarta Raup Triliunan, Jabar Menanggung Dampak

​Dedi Mulyadi secara spesifik menyoroti disparitas penerimaan fiskal daerah yang ekstrem antara daerah industri yang menanggung beban dan daerah kantor pusat.

​Ia memaparkan angka yang mengejutkan, yang menurutnya mencerminkan ketidakseimbangan alokasi bagi hasil pajak secara luas.

​”Alokasi bagi hasil pajak untuk Jawa Barat, meskipun menjadi kawasan industri besar, hanya mencapai sekitar Rp140 triliun,” ungkap Dedi.

“Angka ini jauh berbeda dibandingkan dengan Jakarta yang bisa menerima lebih dari Rp1.000 triliun dari pendapatan pajak nasional,” imbuhnya.

​Dedi menjelaskan, kesenjangan fiskal ini adalah akibat langsung dari sistem sentralistik yang menghitung Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berdasarkan lokasi kantor pusat perusahaan (mayoritas di Jakarta), bukan lokasi operasional atau pabrik.

Daerah Industri Jadi ‘Korban’ Lingkungan dan Infrastruktur

​Dedi Mulyadi menegaskan bahwa provinsi-provinsi dengan kawasan industri besar, seperti Jawa Barat, menanggung beban ganda—yaitu beban lingkungan dan infrastruktur—tanpa mendapat imbalan fiskal yang seimbang.

​”Problem kita ini adalah sentralisasi. Pabrik di Jawa Barat itu banyak banget. Banjirnya kami yang terima. Pencemaran lingkungan kami yang terima. Mobil-mobil gede yang lewat tiap hari yang menghancurkan jalan kabupaten, jalan provinsi, kami yang harus memperbaiki,” tegasnya.

Baca Juga:Tekan Shortfall Pajak Rp103,6 T, Ini Jurus Menkeu PurbayaDedi Mulyadi Tetapkan Keadilan Fiskal Jabar: Wajib Prioritaskan Pembangunan Desa Penyumbang Pajak Raksasa 2026

Solusi Kritis: PPh PPN Dihitung di Lokasi Usaha Riil

​Untuk mengatasi ketidakadilan ini, Dedi Mulyadi secara tegas mendorong agar basis perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diubah.

​Usulan kuncinya adalah: perhitungan PPh dan PPN harus didasarkan pada tempat usaha atau lokasi pabrik itu berada, bukan pada tempat kantor pusat terdaftar.

0 Komentar