CIREBONINSIDER.COM– Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Cirebon mendesak Pemerintah Daerah (Pemda) segera menerapkan dua muatan lokal (mulok) wajib dalam kurikulum sekolah: Sejarah atau Babad Cirebon dan Literasi Digital.
Usulan ini memunculkan pertanyaan kritis mengenai prioritas karakterisasi pelajar Cirebon: apakah penguatan identitas lokal melalui sejarah atau pembekalan etika di tengah gempuran digital yang lebih mendesak untuk diutamakan.
​Ketua DPRD Kabupaten Cirebon, Sophi Zulfia, menyatakan bahwa usulan mulok ini adalah langkah krusial untuk menanamkan nilai-nilai kearifan lokal.
Baca Juga:Dilantik Jadi Ketua KONI Kabupaten Cirebon 2025-2029, Wabup Jigus Target Lompatan Prestasi OlahragaBobol Uang Negara Rp2,9 Miliar, Empat Pendamping Desa di Kabupaten Cirebon Ditahan
Ia menyoroti adanya defisit pemahaman pelajar Cirebon terhadap akar budaya dan sejarah daerahnya sendiri.
​”Beberapa waktu lalu saya mengusulkan adanya muatan lokal di sekolah, terutama tentang sejarah atau babad Cirebon, serta literasi digital,” kata Sophi di Cirebon, Rabu (22/10/2025).
​Menurut Sophi, pelajaran tentang sejarah daerah sangat esensial untuk membangun rasa bangga dan identitas lokal di kalangan siswa.
Pihaknya menilai rasa cinta terhadap Cirebon hanya akan tumbuh jika siswa memahami perjalanan sejarah dan asal-usul daerah mereka.
​”Anak-anak harus tahu dari mana asal mereka, bagaimana perjalanan sejarah daerahnya, agar tumbuh rasa cinta terhadap Cirebon,” tegasnya.
​Tantangan Literasi Digital: Etika vs Pengaruh Negatif Medsos
​Di sisi lain, Sophi juga menyoroti ancaman nyata dari perkembangan teknologi yang tidak terkontrol.
Ia menekankan perlunya Literasi Digital sebagai mata pelajaran wajib, terutama bagi siswa SD dan SMP yang mulai intensif menggunakan media sosial.
Baca Juga:Dishub Kabupaten Cirebon Targetkan PAD Parkir Rp1,6 Miliar, Tertibkan Juru Parkir LiarDisetujui, Cirebon Timur Kini Calon Kabupaten Baru di Jawa Barat
​Pengaruh media sosial saat ini dinilai luar biasa besar dan harus diimbangi dengan pemahaman etika serta batasan penggunaannya.
“Kalau tidak dibatasi dan tidak diajarkan cara memanfaatkannya dengan baik, bisa berdampak negatif,” jelasnya.
​Oleh karena itu, pembelajaran literasi digital harus difokuskan pada cara menggunakan teknologi secara produktif dan aman, memastikan siswa mampu mengikuti kemajuan zaman tanpa kehilangan nilai moral.
Hal ini seolah menempatkan kurikulum digital sebagai prioritas mendesak untuk melindungi akhlak pelajar saat ini.
​​Meskipun usulan tersebut menuntut fokus ganda—sejarah di satu sisi dan etika digital di sisi lain—Sophi Zulfia optimistis bahwa kedua muatan lokal ini dapat dipertimbangkan dan diterapkan secara sinergis oleh Pemda melalui Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon.
