CIREBONINSIDER.COM – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, sebuah tradisi kuno yang telah bertahan selama ratusan tahun kembali menunjukkan kekuatannya.
Pada Jumat (5/9) malam, suasana lengang Keraton Kasepuhan di Cirebon, Jawa Barat, seketika berubah. Ribuan orang memadati halaman keraton, menanti puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan upacara Panjang Jimat.
Tradisi ini bukan sekadar perayaan keagamaan, melainkan warisan berharga dari Sunan Gunung Jati yang terus dijaga sebagai simbol kebersamaan dan spiritualitas.
Baca Juga:Kericuhan Gedung DPRD Cirebon Telan Kerugian Rp8 Miliar, Bebani Anggaran DaerahTopang Mata Pencaharian Nelayan Kerang Hijau, Pemerintah Kota Cirebon Bantu Rumpon
Setiap tahun, prosesi sakral ini seolah menjadi magnet, menarik ribuan pasang mata untuk merasakan langsung khidmatnya malam yang penuh doa dan makna.
Makna di Balik Setiap Gerakan
Prosesi Panjang Jimat dimulai di Bangsal Panembahan. Abdi dalem, yang mengenakan pakaian adat beskap hitam dan ikat kepala batik, berjalan beriringan dengan para kiai dan kaum Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Di bangsal ini, Pimpinan Keraton Kasepuhan, dengan khidmat, menempati singgasana.Setiap detail dalam upacara ini sarat akan filosofi mendalam.
Di hadapan pimpinan keraton, penataan nasi rosul pada tabsi Panjang Jimat dilakukan dengan penuh ketelitian. Terdapat 36 piring panjang dan 38 lilin pengiring.
Pangeran Patih Anom Raja Muhammad Nusantara, juru bicara keraton, menjelaskan bahwa setiap jumlah dan susunan ini memiliki makna simbolis.
”Semua yang dibawa dalam iring-iringan punya makna. Itu menggambarkan kelahiran manusia, sekaligus mengingatkan kelahiran Nabi Muhammad SAW,” ungkapnya.
Prosesi kemudian berlanjut dengan lantunan ayat suci Al-Quran yang merdu, menggetarkan dinding-dinding tua keraton dan membuat suasana semakin khusyuk.
Baca Juga:Pemkab Cirebon Pacu Investasi, Ajak Investor Urus Izin LingkunganHari Jadi Ke-598, Wali Kota Cirebon Apresiasi Keraton Kanoman Gelar Pembacaan Babad Cirebon
Puncaknya, iring-iringan bergerak menuju Langgar Agung. Di barisan terdepan, kelompok pembawa lilin melambangkan cahaya kelahiran Nabi pada malam hari.
Lalu, barisan berikutnya membawa perangkat upacara seperti manggaran, nagan, dan jantungan sebagai simbol kebesaran dan keagungan.
Selanjutnya, kelompok pembawa air mawar, pasatan, dan kembang goyang melangkah, melambangkan proses kelahiran bayi yang didahului ketuban. Benda-benda ini menyiratkan rasa syukur atas kehidupan baru.
Barisan terakhir membawa tumpeng jeneng, nasi uduk, dan nasi putih, sebagai wujud harapan agar bayi yang lahir diberi nama baik dan menjadi pribadi berguna.