CIREBONINSIDER.COM- Polemik kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Cirebon yang sempat menuai gejolak di masyarakat, kini berakhir damai.
Gejolak itu tidak berujung pada aksi demonstrasi besar-besaran, melainkan sebuah kesepakatan damai yang lahir dari dialog antara warga dan Pemerintah Kota Cirebon.
Kesepakatan damai ini membuktikan bahwa komunikasi efektif adalah kunci utama untuk menyelesaikan masalah.
Baca Juga:Bahas Tarif PBB Kota Cirebon, Paguyuban Pelangi Audiensi dengan Wali KotaWali Kota Cirebon Ajak Masyarakat Manfaatkan Diskon PBB, Berlaku sampai Akhir 2025
Paguyuban Pelangi Cirebon, yang mewakili aspirasi warga, memutuskan untuk tidak menggelar unjuk rasa setelah berhasil bertemu langsung dengan Wali Kota Cirebon Effendi Edo, Jumat, 22 Agustus 2025.
Pertemuan tersebut menjadi ruang dialog yang serius, di mana kekhawatiran warga didengar dan ditanggapi langsung oleh pemerintah.
Juru Bicara Paguyuban Pelangi Cirebon Hetta Mahendrati di Cirebon, Jumat, 22 Agustus 2025, mengungkapkan, Pemerintah Kota Cirebon berkomitmen untuk meninjau ulang kenaikan tarif PBB dan memastikan kenaikannya tidak memberatkan masyarakat. Hanya berkisar 10-20 persen.
Selain itu, kata dia, Pemkot Cirebon juga memberikan diskon 50% hingga akhir tahun 2025 yang berlaku untuk semua wajib pajak, termasuk mereka yang memiliki tunggakan pada 2024.
Hetta menilai keputusan itu menunjukkan kepemimpinan yang responsif dan berempati.
Menurutnya keputusan tidak hanya melihat PBB sebagai sumber pendapatan daerah, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat.
Ia juga menyampaikan, bagi masyarakat yang merasa keberatan dengan kenaikan PBB, dapat mengajukan keringanan tanpa perlu melampirkan surat keterangan tidak mampu (SKTM).
“Para warga yang keberatan (terkait kenaikan PBB) dapat mengajukan keringanan tanpa dimintakan SKTM,” katanya.
Baca Juga:Demo Tarif PBB Kota Cirebon Batal, Ternyata Ini AlasannyaPemkot Cirebon Kaji Ulang Kenaikan PBB 1000 Persen, KDM Arahkan untuk Dibatalkan
Langkah kebijakan dengan mempermudah pengajuan keringanan tanpa syarat surat keterangan tidak mampu (SKTM) ini , menurut Hetta, bisa dijadikan bukti keberpihakan Pemkot Cirebon kepada warga.
Sementara itu, di sisi lain sikap dewasa dan konstruktif dari Paguyuban Pelangi ini diapresiasi banyak pihak.
Mereka membuktikan bahwa menyuarakan aspirasi dapat dilakukan secara damai, tanpa perlu menggelar aksi di jalanan yang berisiko mengganggu ketertiban.
Dengan mengedepankan dialog, mereka tidak hanya berhasil mendapatkan solusi, tetapi juga turut menjaga stabilitas dan kondusivitas kota.
Polemik tarif PBB di Kota Cirebon ini menjadi contoh berharga bagi daerah lain bahwa setiap kebijakan publik harus dibahas secara terbuka dan melibatkan partisipasi warga.