Kampung literasi-budaya yang membebaskan pada akhirnya adalah kampung yang mengembangkan dirinya secara otonom, tapi tetap terhubung. Ia tidak terisolasi dari dunia, tapi juga tidak terjebak dalam logika global yang seragam. Ia menggunakan teknologi bukan untuk melarikan diri dari kenyataan, tetapi untuk memperkuat komunitasnya. Ia merancang masa depannya sendiri tanpa menutup kemungkinan berjejaring dengan dunia yang lebih luas.
Kita menyongsong kampung semacam itu bukan dengan heroisme kosong, tapi dengan kerja-kerja kecil yang tekun dan sabar. Dari satu kelas menulis warga. Dari satu pemutaran film dokumenter di balai desa. Dari satu perpustakaan jalanan. Dari satu forum remaja yang berdiskusi soal masa depan kampungnya. Dari satu kepala desa yang berani menolak proyek yang mengambang. Dari satu pemudi yang kembali untuk mengajar bahasa ibu di sekolah dasar. Semuanya adalah benih peradaban.
Dan ketika benih-benih itu bertemu, tumbuh bersama, saling belajar dan saling menguatkan, maka perlahan tapi pasti, kita akan menyaksikan kelahiran kampung-kampung baru: bukan kampung baru secara fisik, tetapi kampung yang sadar, kampung yang berdaya, kampung yang bisa menolak dengan argumen dan menerima dengan martabat. Di situlah kebebasan menemukan bentuknya—bukan sebagai kata dalam spanduk, tapi sebagai keseharian yang terus diperjuangkan. (*)
Baca Juga:Aksi Climate Rangers di PLTU Cirebon, Tuntut Lingkungan Bersih dan Energi BerkelanjutanYumana Colours of Natural: Satu-satunya Kain Wastra Ecoprint Brand Lokal Bersertifikat Halal di Indonesia
Catatan ini ditulis oleh Agung Sholihin, M.Ag (Ketua Divisi Inovasi Forum Pegiat Literasi Kab. Cirebon)