Menyongsong Kampung Literasi (dan Budaya) yang Membebaskan

Kampung-Literasi
Kampung Literasi. Aktivitas literasi harus membuka pintu refleksi atas relasi-relasi hidup sehari-hari. Foto: Instagram/Pusat Dokumentasi Sastra Cirebon

Tentu semua itu tak akan berhasil jika tak ada kelembagaan sosial yang mendukung. Maka kehadiran Taman Bacaan Masyarakat, komunitas adat, kelompok tani, karang taruna, hingga forum musyawarah dusun harus dirawat sebagai ruang belajar kolektif. Literasi membebaskan membutuhkan organisasi sosial yang lentur namun tangguh—yang mampu menampung keresahan sekaligus mengolahnya menjadi rencana aksi. Di sinilah pula pentingnya membangun “struktur bayangan” di dalam dan di luar sistem formal: ruang-ruang alternatif yang bisa mengisi kekosongan peran negara, sekaligus menjadi mitra kritis untuk memperbaikinya.

Pemerintah dan dunia usaha perlu memosisikan diri sebagai “fasilitator transformasi”, bukan “produsen solusi”. Artinya, mereka hadir bukan membawa jawaban, tapi membawa pertanyaan yang membuka dialog. Mereka mendukung bukan dengan cara menggantikan peran warga, tetapi memperkuat daya warga untuk menyusun dan menjalankan gagasan sendiri. Bantuan bukan lagi dalam bentuk paket jadi, tetapi ruang negosiasi terbuka. Dana bukan lagi stimulus jangka pendek, tetapi investasi pada proses jangka panjang.

Perusahaan yang benar-benar ingin berkontribusi dalam pembangunan kampung literasi harus berani menyisihkan sebagian kekuatannya untuk mendukung pendidikan kritis, pendampingan budaya, penguatan komunitas warga, bahkan infrastruktur kecil yang memungkinkan orang berkumpul dan berdiskusi. Mereka harus melampaui paradigma tanggung jawab sosial sebagai pencitraan, menuju bentuk-bentuk keterlibatan sosial yang transformatif dan melekat.

Baca Juga:Aksi Climate Rangers di PLTU Cirebon, Tuntut Lingkungan Bersih dan Energi BerkelanjutanYumana Colours of Natural: Satu-satunya Kain Wastra Ecoprint Brand Lokal Bersertifikat Halal di Indonesia

Demikian pula dengan birokrasi. Literasi hanya bisa tumbuh dalam ekosistem kebijakan yang membuka ruang inisiatif warga. Maka pemerintah perlu mengadopsi pendekatan partisipatoris dalam setiap program desa. Musrenbang bukan lagi sekadar prosedur administratif, tetapi ruang pendidikan politik warga. Aparatur desa bukan hanya perpanjangan tangan pusat, tapi fasilitator lokal yang memiliki imajinasi sosial. Di sinilah keberanian kebijakan diuji—berani mendengarkan suara pelan dari dusun-dusun, bukan hanya gema besar dari pusat.

Kita harus sadar bahwa tantangan terbesar bukan hanya kemiskinan material, tapi juga kemiskinan makna. Kampung yang tercerabut dari akar budayanya akan lebih mudah digerakkan oleh narasi luar yang tak sesuai. Maka gerakan literasi harus juga menjadi gerakan pemaknaan kembali: siapa kita, dari mana kita, dan ke mana kita ingin menuju. Di sinilah kerja budaya tak bisa dilepaskan dari kerja literasi. Menari, bertutur, membuat kerajinan, memasak makanan lokal, semua itu adalah kerja kebudayaan yang memperkuat identitas sekaligus memperluas kesadaran sosial.

0 Komentar