Antara angka, grafik, dan laporan kuantitatif dengan berbagai aspirasi yang tak tercatat misalnya dengan kegigihan seorang pegiat yang mengumpulkan dan menuliskan kisah-kisah sejarah terkait kampungnya, obrolan para tetua masyarakat tentang perubahan pola hidup yang mengasingkan, hingga kegelisahan para pemuda desa mempertanyakan siapa yang bisa mengubah nasib hidup mereka. Pada titik inilah kolaborasi dengan pemerintah dan korporasi menjadi strategis. Bukan karena ada yang tunduk dan menundukkan, tapi karena semua pihak saling percaya: perubahan hanya mungkin bila semuanya mau bekerjasama dengan rendah hati dan tulus.
Perlu diingat pula oleh semua pihak. Kita tak sedang mengidealkan kampung, seolah tanpa cela. Tak pula sedang meromantisasi desa seakan-akan tanpa kekurangan. Sebab pada faktanya memang masih banyak PR yang perlu dikerjakan untuk benar-benar menjadikannya sebagai Kampung Literat dan Berbudaya sebagai penggerak peradaban dari titik dan akar lokalitasnya. Justru karena kampung bukan ruang tanpa cela, maka kerja literasi harus berpijak pada kenyataan, bukan imajinasi utopis dan mengawang-ngawang.
Masih banyak kampung yang berhadapan dengan keterbatasan akses informasi, rendahnya fasilitas pendidikan, hingga problem regenerasi kepemimpinan lokal yang stagnan. Di sisi lain, banyak pemuda desa yang telah mengecap pendidikan tinggi justru enggan kembali karena tak melihat ruang partisipasi yang terbuka. Maka membangun kampung literasi-budaya yang membebaskan bukan sekadar menyediakan buku atau pelatihan menulis, melainkan membuka ruang partisipasi seluas-luasnya agar warga bisa merumuskan ulang masa depan kampungnya sendiri.
Baca Juga:Aksi Climate Rangers di PLTU Cirebon, Tuntut Lingkungan Bersih dan Energi BerkelanjutanYumana Colours of Natural: Satu-satunya Kain Wastra Ecoprint Brand Lokal Bersertifikat Halal di Indonesia
Di sinilah pentingnya membangun ekosistem. Literasi tidak bisa berdiri sendiri sebagai kegiatan satu-dua pihak. Ia harus bertaut dengan sistem pendidikan, kesehatan, pertanian, seni budaya, dan ekologi lokal. Kampung yang literat adalah kampung yang mampu menafsirkan ulang tanah, sungai, dan gunung sebagai sumber nilai, bukan sekadar sumber daya. Maka aktivitas literasi harus membuka pintu refleksi atas relasi-relasi hidup sehari-hari: siapa yang menguasai tanah, siapa yang menentukan harga jual hasil panen, siapa yang memiliki suara dalam rapat desa?
Kampung literasi yang membebaskan adalah kampung yang warganya tidak segan menulis surat kepada bupati tentang keberatan mereka terhadap proyek yang tidak sesuai kebutuhan. Kampung yang para pemudanya mendokumentasikan cerita neneknya tentang perubahan hutan. Kampung yang ibu-ibu pengajian tidak hanya belajar membaca Al-Qur’an, tapi juga membuat catatan keuangan keluarga dan mencatat harga kebutuhan pokok. Semua itu adalah bentuk literasi—yang bukan hanya tentang huruf, tapi tentang hak, makna, dan keberdayaan.