DI tengah arus modernisasi yang begitu deras dan tak terbendung, kampung-kampung, desa-desa, seringkali hanya diposisikan sebagai objek dari pembangunan, bukan sebagai ruang hidup yang memiliki cara pandang, sejarah, dan kearifannya sendiri. Telah cukup lama kita menyamakan konsep pembangunan dengan pendaratan kebijakan dari atas, seolah semua ruang harus diseragamkan dalam kerangka yang homogen. Padahal, sekali lagi, kampung-kampung, desa-desa, seringkali menyimpan kebijaksanaan sosial dan budayanya sendiri yang telah lama menghidupi banyak orang dengan cara yang mungkin tak tersentuh kebijakan, tetapi sangat bermakna bagi kelangsungan hidup masyarakatnya.
Kabar gembiranya, di saat yang sama, kita juga melihat bahwa dalam beberapa tahun belakangan di banyak daerah telah tumbuh aktor-aktor dari dalam birokrasi dan korporasi yang benar-benar mendengar suara dari bawah sebelum bertindak. Mereka bukan lagi entitas yang serba instruktif dari atas atau mitra korporasi yang artifisial, tetapi–meski perlahan–namun terasa mulai bertransformasi menjadi kawan sebangun yang sehat. Maka di sinilah kita semua melihat peluang nyata dalam melakukan perubahan kehiduapan sosial dan budaya yang nyata dari keterpurukan yang disebabkan oleh proses modernisasi yang serampangan.
Dalam sejumlah kesempatan, kita melihat sejumlah pejabat publik membuka ruang dialog, bukan hanya menyampaikan perintah. Begitu juga perwakilan-perwakilan perusahaan yang mulai menjadikan kegiatan sosial bukan sebagai CSR kosmetik, tetapi sebagai strategi keberlanjutan bersama yang sungguh-sungguh. Ketika negara datang bukan untuk menggurui, dan perusahaan hadir bukan untuk menjual narasi, maka di situlah kampung bisa bernapas, berpikir, dan tumbuh sesuai potensi lokal dan irama hidupnya sendiri.
Baca Juga:Aksi Climate Rangers di PLTU Cirebon, Tuntut Lingkungan Bersih dan Energi BerkelanjutanYumana Colours of Natural: Satu-satunya Kain Wastra Ecoprint Brand Lokal Bersertifikat Halal di Indonesia
Banyak aparatur negara hari ini yang bergerak sunyi dari dalam sistem, menyisipkan ruang dialog di tengah birokrasi yang rumit. Ini adalah kenyataan yang berharga. Banyak perusahaan yang mulai memberi ruang bagi pekerjanya untuk terlibat dalam kegiatan sosial yang berakar. Ini juga tidak kalah berharga. Sebab pada titik itu semua, literasi bisa menjadi bahasa bersama, tempat kita menyusun ulang arah pembangunan yang lebih efisien, juga adil dan manusiawi.
Mengusung kampung literasi (dan budaya) yang membebaskan, bukan berarti menolak kerja sama dengan negara dan dunia usaha. Tetapi justru mengundang berbagai pihak untuk masuk lebih dalam. Tidak hanya dalam bentuk program, tetapi dalam ruang-ruang diskusi dan belajar yang setara serta berkelanjutan. Sebab perjuangan dari bawah dilakukan bukan untuk melawan aktor-aktor, tetapi melawan cara kerja lama yang keliru yang memosisikan masyarakat hanya sebagai obyek pasif. Sehingga kerja literasi menjadi jembatan nyata antara niat baik dari atas dan harapan nyata dari bawah.