Karena itu, PB IKA PMII mendesak agar suara pesantren masuk di setiap tahap penyusunan RUU, mulai dari naskah akademik, perumusan pasal, hingga evaluasi.
Pendidikan, kata Fathan, bukan milik negara semata, melainkan hasil kerja kolektif masyarakat.
“FGD ini mempertemukan Komisi X dan VIII DPR RI, pakar pendidikan, tokoh pesantren, dan akademisi dari berbagai latar belakang,” kata Fathan.
Baca Juga:Bantuan Rp5 Miliar Per Desa untuk Kopdes Merah Putih Siap Digelontorkan Wujudkan Visi Indramayu Reang, Lucky dan Syaefudin Launching 14 Program Percepatan, Apa Saja?
Diskusi akan mengupas tentang evaluasi naskah akademik RUU Sisdiknas, ancaman homogenisasi kurikulum terhadap pesantren, strategi advokasi legislasi berbasis nilai keislaman, hak dan kewajiban pesantren dalam sistem pendidikan nasional, serta model partisipasi bermakna komunitas pesantren.
Menurut Fathan, pesantren memiliki peran historis dalam perjuangan kemerdekaan, membentuk karakter bangsa, dan menanamkan nilai-nilai keagamaan.
“Dalam konteks ini, menjaga posisi pesantren berarti menjaga identitas Indonesia yang beragam,” katanya menekankan.
PB IKA PMII menegaskan, modernisasi pendidikan tidak boleh mengorbankan akar budaya dan tradisi pesantren. Regulasi pendidikan nasional seharusnya memperkuat kekayaan lokal, bukan menyingkirkan.
Seminar dan FGD ini menjadi wujud komitmen PB IKA PMII untuk memperjuangkan sistem pendidikan yang inklusif dan adil.
“Pesantren harus dilibatkan penuh agar kebijakan pendidikan tidak hanya mengedepankan efisiensi teknis, tetapi juga keberagaman nilai dan spiritualitas,” tegasnya.
Ia juga menambahkan, RUU Sisdiknas harus menjawab tantangan zaman tanpa menghilangkan warisan pesantren. Karena pendidikan merupakan hak semua, dan harus dibangun di atas fondasi nilai, keadilan, dan partisipasi masyarakat.(*)